McLeod, RossRosdaniah, Sitta2022-05-020007-4918http://hdl.handle.net/1885/264210For roughly the past three years, Indonesia’s growth has maintained its slight upward trend while inflation has been broadly on target. The budget deficit has been kept under control and government debt is low relative to that of many other countries. Nevertheless, this sound macroeconomic performance is now under threat because the government’s aversion to depreciation of the currency has led it to introduce unnecessary contractionary fiscal measures—including cutbacks of spending on infrastructure on which output growth depends. Along with many other currencies, the rupiah has depreciated significantly throughout much of 2018—despite the attempts of Bank Indonesia, the central bank, to prevent this—partly because of rapidly growing imports, but also because of a reversal of portfolio capital inflow. This reversal reflects various factors, including Bank Indonesia’s policy, until recently, of pushing interest rates down while global interest rates have been rising; fear that rapid depreciation in poorly managed economies such as Turkey and Argentina may prove contagious; market recognition that expansion of the current account deficit is likely to require depreciation beyond that desired by the central bank; and concern that the forthcoming presidential election creates conditions in which it will be difficult to pursue sound economic policies. This survey discusses the rather unexpected currency depreciation and associated selling pressure in the stock exchange in detail before going on to provide evaluations of, and suggestions in relation to, a range of microeconomic policies, including infrastructure development; the provision of subsidised loans to small businesses; the fiscal aspects of decentralisation; minimum wages; and management of the bureaucracy. To a large extent, most of these policies can be characterised as reflecting a distrust of market forces, including a reluctance to adopt market-mimicking processes in the public sector—specifically, in relation to the funding of local governments, and to the staffing of the bureaucracy. From another perspective, the adoption of a wide variety of objectives for economic policy reflects the absence of any consistent analytical framework, making it highly likely that policies will turn out to be mutually inconsistent and, in particular, that they will conflict with the ultimate economic objective of increasing living standards, especially those of the poor. Selama kira-kira tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia bertahan pada tren yang sedikit meningkat, sementara angka inflasi cenderung sesuai target. Defisit anggaran berhasil dikendalikan dan utang pemerintah cenderung rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Meskipun demikian, kinerja ekonomi makro yang baik ini tengah menghadapi tantangan yang datang karena kekuatiran pemerintah akan depresiasi rupiah menyebabkan dikeluarkannya berbagai kebijakan fiskal kontraksioner yang tidak perlu—termasuk pemotongan belanja infrastruktur, yang justru sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan output. Seperti banyak mata uang lainnya, rupiah telah terdepresiasi secara signifikan sepanjang 2018— terlepas dari berbagai usaha yang dilakukan Bank Indonesia untuk mencegahnya—bukan hanya karena tingginya pertumbuhan impor, tapi juga karena pembalikan arus modal masuk. Pembalikan arus modal ini mencerminkan berbagai faktor, termasuk pertama, kebijakan Bank Indonesia yang ( sampai beberapa waktu lalu) berupaya menekan tingkat suku bunga pada saat suku bunga global sedang naik; kedua, ketakutan bahwa depresiasi yang tajam di negara-negara dengan perekonomian yang tak dikelola dengan baik, seperti Turki dan Argentina, dapat menyebar cepat; ketiga, kepercayaan para pelaku pasar bahwa melebarnya defisit neraca transaksi berjalan akan diikuti oleh depresiasi rupiah yang lebih dalam daripada yang diinginkan oleh bank sentral; serta keempat, kekuatiran bahwa pemilihan presiden yang akan datang menciptakan kondisi yang membuat pemerintah sulit melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang baik. Survey ini secara rinci mendiskusikan depresiasi mata uang yang tidak sesuai perkiraan dan kaitannya terhadap tekanan jual di pasar saham, sebelum melanjutkan dengan beberapa evaluasi dan usulan atas serangkaian kebijakan ekonomi mikro, termasuk pembangunan infrastruktur; pemberian subsidi kredit usaha rakyat (KUR); aspek fiskal pada desentralisasi; upah minimum; serta manajemen birokrasi. Sampai batas tertentu, sebagian besar kebijakan ini dapat dilihat sebagai cerminan ketidakpercayaan terhadap mekanisme pasar, termasuk keengganan mengadopsi mekanisme pasar di sektor publik—khususnya dalam hal pembiayaan pemerintah daerah, dan dalam hal penempatan tenaga kerja birokrat. Dari perspektif lain, penetapan sejumlah besar tujuan kebijakan ekonomi mencerminkan absennya kerangka kerja analitis yang konsisten. Alhasil, kebijakan-kebijakan yang muncul mudah sekali menjadi inkonsisten satu sama lain dan bahkan dapat berkonflik dengan tujuan ekonomi utama untuk menaikkan standar hidup, khususnya bagi mereka yang miskin.application/pdfen-AU© 2018 ANU Indonesia Projectcrisiseminent domainsmall businessfiscal transfersminimum wagesbureaucracyAn evaluation of some key economic policies201810.1080/00074918.2018.15482452020-12-27